Rabu, 31 Mei 2017

MELEPAS MERPATI

 “MELEPAS MERPATI”
Allah Subhanahu wata’ala tidak akan salah mengirimkan seseorang yang tepat untuk kita, bukankah janji Allah hanya satu? ‘Orang baik akan selalu berjodoh dengan orang yang baik dan bukankah tulang rusuk tidak akan tertukar?. Aku selalu mencoba memahami makna dari kalimat itu. Hingga sekarang, saat aku membuka gambar demi gambar di album instagram. Aku melihat aura bahagia darinya, aku melihat setiap harapan ku ada di sana bersamanya, dulu.

Sungguh, jika aku miskin iman mungkin hari ini aku akan menjadi jenazah yang terbujur kaku. Tetapi, aku memiliki-Nya penguasa alam semesta, yang maha membolak balikkan hati setiap manusia. Kesedihan adalah awal dari sebuah kebahagiaan dan kesedihan adalah awal merubah diri menjadi lebih baik.

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.”
 (QS.At-Taghabun: 11)

Ayat itulah yang membawa ku tetap tegar sampai sekarang ini, meskipun luka itu masih basah. Yang terjadi padaku hari ini adalah kehendak Allah Subhanahu wata’ala.

***

Tiga bulan sebelumnya...

“Bismillahhirrohmanirahim, dengan ijin Allah, ijinkan saya Noor Sigra Putra meminang putri bapak ananda Khaulla Ansari” bisakah hari ini aku merasa bahwa aku adalah gadis yang paling beruntung, Alhamdulillah .... doa-doa ku selama ini di ijabah oleh Allah. Seorang laki-laki datang ke rumah dan meminta ku menjadi bidadari surganya.

Dia adalah laki-laki yang selama dua bulan ini menemani hari-hari ku dengan berbagai nasehat dan laki-laki yang selalu mengingatkan ku untuk terus mengingat Allah di setiap langkah ku. Jika ada sesuatu yang bisa menggambarkan laki-laki ini maka akan aku gambarkan dan tuliskan, sayangnya dia hanya laki-laki akhir zaman yang ingin melakukan ibadah terbesar dalam hidupnya. Masih jauh dari kata sempurna, tapi cukup untuk menjadi calon imam pemimpin keluarga.

“Bismillahirahmanirrahim, saya Khaulla Ansari dengan ikhlas dan ridha menerima lamaran sekaligus pinangan dari saudara Noor Sigra Putra” dengan gugup dan malu aku mengucapkannya dan aku mendengar semua orang mengucapkan ‘Alhamdulillah’, rona kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah setiap tamu yang hadir yang mana semuanya adalah kerabat dan sahabat dekat. ‘Ya Allah ridhoi kami, lancarkan lah segala urusan pernikahan kami’ doa ku dalam hati dan sejak saat itu kiblat ku dan doa ku selalu ku isi dengan nama ‘Noor Sigra Putra’.

“Terimakasih sudah mau menerima ku, Ulla” Aku hanya mengangguk malu, dia bukanlah laki-laki yang tiba-tiba datang pada ku. Dia adalah teman lama ku yang kini akan segera mengubah statusnya sebagai ‘suamiku’, ‘imamku’.

“Terimakasih juga mas, sudah mau mempercayakan kehormatan mu di pundakku” ucapku. Di pundak seorang istri ialah kehormatan seorang suami, dan di kaki suami adalah surga istri. Jika istri tidak menutup pundaknya dengan baik maka kehormatan suami adalah jaminannya, dan jika kaki suami di gunakan untuk melangkah ke tempat tidak baik maka surga istri di pertaruhkan. Dia hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

***

“Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis”
(QS. An-Najm: 43)

Di saat bahagia tercipta di situ luka akan mulai menunjukkan mukanya, bahagia dan luka adalah dua hal yang selalu erat dan berdampingan. Masa khitbah kami telah berjalan selama tiga minggu dan Pernikahan kami akan di gelar satu bulan lagi. Mendadak, pagi ini, dia mendapatkan tugas ke luar kota. Melihat jabatannya sebagai manager PT produk makanan terkenal, tidak mungkin jika harus di tolak.

“Pergi sebentar ya Ulla, gak lama kok kan cuma sebulan. Sabar ya?” karena tugas itulah pernikahan ku juga harus di undur selama kurang lebih dua sampai tiga bulan lagi. Aku tersenyum pasrah, melihat kepergiannya di bandara. “Ya Allah jagalah dia dimanapun dia berada, lindungi dia dari segala hal yang buruk” doa ku saat melepaskan kepergiannya.

Kami berperang melawan jarak, berperang menahan rindu dan berperang dengan waktu. Di sana dia menjalankan tugasnya sebagai seorang manager dan di sini aku masih sibuk membagi ilmu. Perlahan aku mulai mencintainya, meskipun kini dia jauh dari ku, meskipun kini aku jarang bertatap muka dengannya. Sungguh besar peran Allah bagiku, dengan waktu yang singkat dia menetapkan pilihan hatinya pada ku dan dengan singkat aku menitipkan hati ku padanya.

Aku berharap dia adalah jawaban dari doa ku selama ini, jawaban dari seluruh harapan ku. Noor Sigra Putra, dari jarak yang membentang ini aku percayakan hati ku untuk mu. Aku rela menunggu mu berapapun lamanya jarak ini akan terus membentang.

“Assalamuallaikum.... Selamat pagi Ulla, jangan lupa sholat subuh. Jangan malas, dan semoga hari ini penuh berkah” Aku membuka ponsel ku sembari tersenyum. Perhatian kecil yang sangat berkesan untukku. Bagaimana tidak, hampir setiap subuh dia mengirimi ku pesan yang sama. Setiap siang pun, dia akan menelfon hanya untuk menanyakan keberadaan ku dan mengingatkan ku untuk sholat dzuhur dan ashar nanti. Bolehkah aku merasa tidak ingin kehilangannya?, walaupun aku tahu kita semua akan terpisah dengan sesuatu bernama, ‘ajal’.

Sebulan berlalu, semuanya masih baik. Aku sering menghubunginya untuk bertanya kabar dan memberi kabar, tentang ku dan persiapan pernikahan. Perhatian kecil setiap subuh pun masih aku dapatkan darinya, walaupun mulai jarang. Sigra selalu berkata, jika kita berjodoh pasti kita akan bertemu meskipun jarak memisah. Seperti Nabi Adam dan Siti Hawa yang terpisah di belahan bumi yang berbeda, tapi pada akhirnya tetap bersatu. Satu kalimat yang benar-benar membuat ku semakin hari semakin mencintainya, satu kalimat yang membuat ku berhenti mengeluh karena jarak dan waktu. Terimakasih ya Allah engkau kirimkan aku laki-laki yang sungguh, sangat baik.

“Assalamuallaikum dek, maaf sepertinya aku akan pulang dua minggu lagi” ucapnya dengan nada sedikit menyesal. Aku hanya terdiam, apa yang akan ku ucapkan. Pernikahan ini sebentar lagi akan di laksanakan, sedangkan mempelai prianya saja sedang sibuk dan jauh.

“Waallaikumsalam mas, iya mas gakpapa, di sini biar Ulla, Bunda dan Ibu yang urus. Jangan terlalu capek ya mas, jangan lupa sholat dan dzikir” hanya kata itu yang keluar dari mulutku, aku sengaja menutupi kegundahan ku supaya dia tidak perlu mengkhawatirkanku.

“Jodoh itu gak akan kemana kok dek, yang sabar ya?” ucapnya. Andaikan saja aku sudah menjadi istrinya tidak perlu repot-repot menahan rindu, aku bisa menemuinya kapan pun aku mau. Dia menutup telfonnya seperti biasa. Entah, kenapa kata-katanya terngiang di telinga ku aku menangkap nada yang lain dari suaranya. Nada yang terkesan sedih dan bimbang, bukan nada yang selama sebulan ini terdengar seperti nada motivasi dan penyemangat.

Kekhawatiran ku mulai bertambah ketika seminggu ini tidak ada kabar apapun darinya, di tambah lagi ibunya yang juga tidak tahu apa-apa. Kemana kamu, hanya itu yang ada di pikiran ku. Sepertiga malam ku, selalu aku habiskan untuk berdoa agar tidak terjadi sesuatu yang buruk di sana. Sebelumnya masing-masing keluarga memang menunda pernikahan ku menjadi dua atau tiga bulan dan sepertinya akan benar-benar mundur menjadi tiga bulan, manusia memang ahlinya dalam berencana tapi semuanya berakhir dengan ketentuan Allah.

Khusnudzon, itu yang selalu aku lakukan selama seminggu ini. Berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk dan rencana Allah pasti indah.

Pagi ini aku menerima pesan singkat. Ini bukanlah pesan singkat yang setiap subuh memenuhi notification ponsel ku. Apakah aku harus tertawa membacanya atau aku harus menangis sekencang-kencangnya?. Ya Allah apa ini?, Aku terduduk lesu sangat lesu air mata ku yang sebelumnya enggan untuk menetes kini mulai keluar dari pelupuk mataku suara ku yang semula baik kini menjadi parau dan dada ku bergetar hebat. La Tahzan Innallaha Ma’anna, hanya itu yang terus aku ucapkan.

“Seberapa kuat aku menggengam mu, jika kamu bukan jodoh ku maka akan terpisah juga. Maafkan aku Ulla...”

Aku ingin menemuinya, berbicara dengannya dan bertanya apa maksud dari pesannya ini. Aku coba untuk menelfonnya berkali-kali tapi hasilnya nihil. Aku coba untuk datang ke rumahnya tapi semuanya seakan pergi begitu saja, apa selama ini aku bermimpi? Apa kebahagiaan yang aku rasa selama ini hanya ilusi?.

Satu minggu sudah, tidak ada pesan singkat saat subuh dan tidak ada telfon saat siang. Dia dan keluarganya seolah hilang di telan muka bumi, aku berusaha untuk menghubungi tapi nihil. Lihatlah aku yang sudah seperti mayat hidup ini, menangis dan terus menangis. Dalam sujud pun aku menangis, “seburuk ini kah takdir ku ya Allah?” keluhku dalam doa.

Dua minggu berlalu....

Tepat dua bulan dia jauh, aku kira hanya jarak yang akan memisahkan ku dengannya aku kira hanya waktu yang akan berhenti sejenak untuk menemukan ku dengannya. Tapi salah, takdir juga turut andil untuk memisahkan ku dengannya.

“Arrggghhhhh!!!! Kenapa?! Kenapa mas?! Kenapa seperti ini?” aku berteriak dalam hati menahan amarah yang sudah semakin memuncak. Malu karena di gunjing, bingung karena terlalu lama di gantung, sedih dan kecewa yang benar-benar tak bisa di gambarkan. “Adakah yang lebih buruk dari ini ya Allah?” lirih ku dalam tangis.

Hancur, harapan ku hancur begitupun hati ku yang baru aku titipkan dan percayakan. Bahkan keluarganya pun hanya mampu mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan sebabnya pernikahan ini, batal!. Apa aku tidak begitu baik untuknya? Apa aku terlalu naif untuknya? Ada banyak pertanyaan dalam benakku.

Tidak cukup sampai di sini, di saat aku benar-benar merasa lebih baik dengan segala masalah yang menimpa, masalah lain datang lagi. Kali ini aku benar-benar hilang harapan, kali ini aku benar-benar merasa hanya seperti debu. Sore dan senja yang indah tidak mampu membuat hati ku merasa damai.
Foto itu, foto pernikahan yang sangat sederhana tapi indah, gaun itu adalah gaun yang sederhana tapi begitu pas dengan penggunanya yang juga cantik di balut dengan kerudung putih nan bersih dan senyum mereka, amat sangat bahagia. Inikah jawaban dari setiap masalah yang menimpa ku, tak cukupkah hanya meninggalkan, kenapa harus di tambah dengan sebuah kebohongan. Bagai belati tajam yang mehunus jantung, rasanya berkali-kali lebih sakit dan berkali-kali lebih perih. La Tahzan Innallaha Ma’anna, ucap ku lirih dengan getir dalam tangis.

***

Mungkin kamu bukanlah jawaban dari setiap doa ku bukan pula petunjuk dari setiap harap ku. Karena jodoh itu pergi tapi tak meninggalkan, jauh tapi tak menjauh, jarak bukanlah rintangan, hati yang lain yang jadi cobaan. Bukannya tak bisa berdamai dengan rasa sakit, hanya saja luka kemarin masih cukup basah, di tambah lagi dengan luka yang baru. Berbahagialah, dengan pilihan hatimu, jodoh mu yang benar-benar jadi tempat untuk mu kembali. Mungkin aku bukanlah gadis yang sempurna aku hanya punya doa dan cinta. Tak apa, aku akan mencoba untuk berdamai dengan rasa sakit, tak apa aku akan berusaha mengikhlaskan sesuatu yang memang tidak di takdirkan untukku. Terimakasih telah meminta ku menjadi bidadari surga mu, meski kini itu hanya ilusi. Sampaikan salam ku pada ibu dan ayah mu, terimakasih telah menyempatkan waktu untuk datang ke rumah ku.
Wahai yang maha membolak balikan hati, teguhkan lah hati ku dalam menggapai ridhoMu. Wahai yang maha membolak balikan hati, teguhkanlah hatinya pada pilihan yang telah ia pilih. Aku, di sini memantaskan diri untuk menanti seseorang yang nantinya akan mengobati luka hati.
Bismillahirrohmanirrahim, aku melepaskan mu, kebahagianku yang hanya sesaat tapi indah.

***

“Masih di lihat terus fotonya?” Aku mengangguk, menahan tangis dan sedikit tersenyum.

“Tidak akan ada yang berubah Khaulla, semua sudah takdir Allah. Tiga bulan itu lebih dari cukup. Kamu berhak untuk bahagia, berhak untuk berdamai dengan masa lalu” Aku memeluk bunda ku. Sungguh, saat ini pun aku ingin untuk berbahagia, melupakan segalanya. Tapi, apa daya aku hanya seorang manusia yang juga merasakan kecewa.

Dia kembali pada rumahnya, rumah yang sempat ia tinggal entah apa alasannya. Rumah adalah tempatnya untuk kembali, rumah selalu menjadi tujuan setelah persinggahan yang lama. Rumah itu bernama “Masa lalu”. Jangan tanya, siapa aku? Karena aku hanya tempat singgahnya. Khitbah tak berarti akan menikah, meskipun pernikahan adalah tujuan. Entah apa yang dia pikirkan, apakah cinta semacam permainan? Ataukah khitbah semacam sebuah perjalanan? yang jika ia lelah ia akan berhenti dan akan lanjut kembali saat lelahnya pergi.

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”
(QS. Al Baqarah: 153)

Ku gelar sajadah ku, ku panjatkan doa ku. Kali ini tanpa rasa sedih tanpa air mata yang ada hanya ketegaran dan rasa percaya. Melupakan memang sulit, apalagi mengikhlaskan sesuatu yang pernah hadir di hidup kita. Bersabarlah... yakinlah semua akan indah pada waktunya.

“Ya Allah hanya kepada-Mu lah aku meminta, lapangkanlah hati ku tegarkanlah raga ku dalam menghadapi ujian-Mu. Jika memang ini bagian dari takdir ku, aku ikhlas”.

Jika sesuatu itu hilang darimu maka jangan memohon untuk mendapatkan yang baru, berdoalah semoga Allah senantiasa melimpahimu rasa syukur. Bersyukur karena Allah menunjukan mana yang baik dan yang buruk, bersyukur ketika kita di uji dan bersyukur bahwa sebentar lagi akan ada kebahagain yang datang menghampiri.

Setelah hujan dan badai tidak selalu ada pelangi, di saat yang tepatlah pelangi itu muncul, sama seperti hidup, setelah cobaan datang menerpa tidak secepat itu nikmat datang menghampiri. Ini hidup dan memiliki fase, ada saat kita bahagia ada saat kita terluka, ada saat luka menganga ada saat tawa menghancurkan hampa. Yakinlah, di saat yang tepat, dimana kita sudah cukup pantas untuk di sanding tidak ada sesuatu hal yang akan memisahkan kecuali ‘Takdir Allah’.

***

Sinar matahari menyambut senyum ku, burung terbang menantikan bahagia ku. Aku berdiri di sini, tempat di mana aku menemukan tawa, menemukan tangis dan menemukan cerita. Tempat yang jauh dari luka dekat dengan canda. Setiap detik hanya ada senyum bahagia, menertawakan hal kecil yang sebenarnya tidaklah lucu. Anak-anak ini, mengajarkan ku arti kata maaf, arti kata bahagia, arti kata ikhlas dan arti kata memaafkan.

Hidup ini akan terus berjalan bukan? Maka aku mencoba melupakan, mengikhlaskan dan mendoakan segala yang terbaik untuk ku dan untuknya, yang pernah singgah kemudian pergi lalu hilang. Jika dia mampu menemukan  ‘rumahnya’ kembali, maka aku juga yakin bahwa suatu saat nanti akan ada seseorang yang menjadikan aku ‘rumahnya’. Ini hanya perihal waktu, perihal seberapa kuat aku menjalani ini semua.

“Kehilangan mu seperti kehilangan arah jalan, tapi aku tau jalan itu akan selalu ada hanya saja arahnya yang berbeda”- Khaulla